Saudaraku…, Islam menjelaskan kedudukan yang tinggi nan mulia tentang keutamaan ilmu. Banyak ayat, hadits, perkataan dan kisah teladan para ulama salaf yang menunjukkan hal ini, diantaranya adalah firman Allah Ta'ala : “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS.Al-Mujadilah: 11)
Al-Imam Ath-Thabari berkata, “Allah mengangkat derajat orang beriman yang berilmu di hadapan orang beriman yang tidak berilmu karena keutamaan ilmu mereka (jika mereka mengamalkan ilmu tersebut. Pent) (1)
Semangat Ilmu Generasi Terdahulu
Saudaraku......
Kalau kita menelisik kehidupan generasi awwalin (terdahulu) dalam menuntut ilmu, niscaya kita akan mendapatkan betapa hebat semangat mereka sebagai bukti haus ilmu di setiap tempat dan waktu. Tentang semangat menuntut ilmu Al-Imam Ibnul Jauzy menukilkan sebuah ungkapan syair,
“Jadilah engkau seseorang yang kakinya berada di atas tanah namun cita-cita tertingginya berada pada bintang thuraya”. (Abu Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Bashri yang dikenal sebagai An-Na`imiy)
Sejatinya, menuntut ilmu tidaklah memandang status seseorang, baik tua maupun muda, kaya ataupun miskin. Beberapa contoh di bawah ini, semoga bisa membuat semangat kita berkobar terpacu untuk menuntut ilmu hingga ajal menjemput.
Al-Hafizh Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi, seorang ulama yang hidup pada abad ke-5 hijriah, menceritakan tentang kisah dirinya selama perjalanan menuntut ilmu,“Aku mengalami kencing darah tatkala pencarian hadits dua kali; sekali semasa di Baghdad dan yang lain di Makkah. Hal itu disebabkan aku berjalan tanpa menggunakan alas kaki dalam perjalananku mencari ilmu di cuaca yang sangat panas di atas gurun yang membakar. Hal itu mempengaruhi tubuhku sehingga aku kencing darah. Aku tidak pernah sama sekali menggunakan kendaraan untuk mencari hadits, kecuali hanya sekali saja. Aku selalu membawa kitab-kitabku di atas punggung di dalam menempuh perjalanan hingga sampai di suatu negeri.” (Tadzkirah Al-Huffadz (4/1243) karya: Al-Imam Adz-Zahabi)
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ishaq pergi melakukan perjalanan untuk mencari ilmu pada saat umur beliau masih 20 tahun. Beliau kembali ke negerinya ketika sudah berumur 65 tahun. Berarti beliau melakukan perjalanan mencari ilmu selama 45 tahun. Pada waktu tersebut beliau mendengarkan ilmu dan mengambilnya dari 1700 guru. Kemudian beliau kembali ke negerinya dan menikah pada usia 65 tahun dan dikaruniai beberapa anak. Kemudian beliau menyampaikan hadits kepada manusia dan mengajarkannya (Lihat: Tadzkirah Al-Huffadz (3/1032)
Apa yang membuat mereka semangat?
Saudaraku... tentu tanda tanya besar tersirat dalam benak kita. Apakah yang sebenarnya mendorong mereka untuk bersemangat dalam menuntut ilmu? Bukankah zaman mereka adalah zaman yang serba kurang?? Tidak ada sarana transportasi memadai untuk menempuh perjalan jauh, tidak ada media komunikasi cepat apalagi modern, tidak pula teknologi canggih atau jaringan internet yang dapat diakses dengan mudah sewaktu-waktu dibutuhkan sebagaimana yang kita dapatkan di zaman ini.
Nah, secara singkat jawaban pertanyaan ini sudah terwakili melalui ilustrasi paragraf di atas. Setidaknya ada 3 jawaban,
1. Ada udang di balik batu, ada kemuliaan di balik ilmu
Salah satu jawabannya, karena mereka meyakini akan banyaknya kemuliaan yang didapatkan oleh seorang penuntut ilmu syar`i. Seluruh penduduk langit dan bumi memohonkan ampun dan mendoakan kebaikan untuk orang yang menuntut ilmu. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Muhammad Shallahu `Alaihi Wasallam,
“Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, penduduk langit dan bumi sampai pun semut di sarangnya dan ikan di lautan mendoakan kebaikan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia” (Hadits Abu Umamah Al-Bahili, Riwayat Tirmidzi (2685) dishahihkan oleh Al-Bani)
2. Tekat kuat untuk menghilangkan kebodohan pada diri sendiri dan orang lain
Misi inilah yang selalu mereka songsong selama perjalanan ilmiah mereka.
Berkeinginan kuat untuk menghilangkan kebodohan pada diri pribadi dan orang lain. Dan inilah pengertian dari kata al-ilm seperti yang disebutkan dalam kitabul ilm, karya As-Syaikh Ibnu Utsaimin.
3. Tidak adanya sarana atau fasilitas yang dapat dijangkau secara capat
Kondisi di zaman mereka tidak seperti zaman dimana kita hidup sekarang. Dewasa ini, kita bisa mendapatkan ilmu dengan mudah melalui berbagai media yang ada. Mereka harus mencarinya, karena mereka punya prinsip, “Al-'ilmu yu'ta walaa ya'ti” “Ilmu itu kita datangi, bukan ilmu yang mendatangi kita”.
TAPI SAYA UDAH TUA?
Sebagian orang terkekang dengan sebuah alasan, seperti dalam ungkapan “Tapi, saya sudah terlanjur tua”, atau “Butuh modal cukup”, atau “Sayang, keluarga tidak mendukung” dan lainnya. Pembaca yang budiman, sejatinya ini tidaklah menjadi alasan yang menghambat seseorang untuk menuntut ilmu. Karena banyak para ulama salaf terdahulu yang menuntut ilmu di usia senja.
Hendaknya, keberadaan kita di abad ini semakin memudahkan kita untuk belajar dan menuntut ilmu. Zaman yang penuh dengan berbagai bentuk kecanggihan teknologi, media cetak bahkan media masa dan informasi yang semakin memudahkan fasilitas penyebaran ilmu. Dengannya, kita dapat mencari ilmu tanpa harus menempuh perjalanan jauh. Alhamdulillah.
Ingatlah saudara, singkirkan kata “terlambat” dalam menuntut ilmu. Cermatilah ungkapan indah dari salah seorang ulama terkenal dibawah ini,
Na’im bin Hammad berkata: Bahwa ada yang bertanya kepada Ibnul Mubarak, “Sampai kapan engkau menuntut ilmu?” Ibnul Mubarak menjawab, “Hingga wafat insya Allah”. (2)
Saudaraku... Ilmu adalah harta dan tabungan yang tak akan habis. Sebaik-baik teman yang bersahabat adalah ilmu. Semuanya kembali kepada perjuangan dan kesungguhan masing-masing kita. Baiknya perjalanan kehidupan ini berawal dari kesadaran dan tekat untuk menapakinya dengan ilmu dan kebenaran.
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengubah keadaan suatu kaum, sampai kaum tersebut mengubahnya sendiri” (Ar-Ra'd: 11). Wallahu'alam bisshawab.
------------------------------------------
1. Lihat: Tafsir at-Thobari : Qs. al-Mujadilah: 11
2. Lihat: Kitab Uluwwul Himmah, Karya Muhammad bin Ahmad bin Ismail al-Muqaddam, penerbit daar ibnul jauzi, hal. 202-206
Oleh: Hamdani Aboe Syuja'
Sumber: Buletin Nidaul Irsyad, edisi 1, Dzulqa'dah-1434 H
0 komentar:
Posting Komentar