Suatu ketika penulis sedang berjalan-jalan dan melihat beberapa orang berkerumun dipinggir jalan. Saking ramainya, membuat jalan sesak dan macat yang berkepanjangan. Sejenak saya mendongakkan kepalaku untuk melihat siapa gerangan yang dikerumuni oleh masa itu. Tapi nihil, yang dilihat malah tertutup oleh masa. Akhirnya saya pun menelusuri kerumunan tersebut, menyibak semua masa yang didepan. Alhamdulillah sampai juga kesasaran yang dituju.
Saya berdiri beberapa langkah yang tak jauh dari orang tersebut. Namun, tatkala mata penglihatanku menangkap sosok yang dikerumunin sejak tadi. Saya hamper berteriak keras, “Astargfirullah!!” mungkin beberapa orang mendengar ucapanku. Saya terkaget kaku, seseorang yang terbaring terbujur dengan darah yang bersimbah disekitar tubuhnya. Dia seorang yang sudah sangat berumur.
Setelah saya bertanya kepada seseorang yang berdiri disamping saya. Diapun menjelaskan sekilas kronologi kejadian yang yang menimpa pasien tersebut
Pengemis…..
Ternyata orang tersebut adalah seorang pengemis yang setiap hari pekerjaannya adalah meminta-minta atau dalam bahasa kasarnya “mengemis” kepada pengendarai mobil yang sedang menunggu lampu merah.
Merebaknya pengemis diindonesia adalah fenomena yang sudah berbudidaya sejak zaman-kezaman, bahkan dari abad keabad. Tak ada yang tau siapa yang melakukan pekerjaan “ngemis” atau bahasa kerennya “ngamen” pertama.
Sebenarnya boleh ngak sih ngemis itu? Lalu apa pandangan syariat tentang mengemis atau mengamen? Nah, disini kita akan mengupas sedikit tentang masalah seputar mengemis.
MENGEMIS
Mengemis atau mengamen dalam bahasa arabdisebut dengan “tasawwul”. Di dalam Al- Mu’jam Al-Wasith disebutkan: “Tasawwala (bentuk fi’il madhy dari tasawwul) artinya meminta-minta atau meminta pemberian. Nah, itu kalo sejara bahasa. Adapun secara istilah adalah Minta-minta atau mengemis adalah meminta bantuan, derma, sumbangan, baik kepada perorangan atau lembaga. Mengemis itu identik dengan penampilan pakaian serba kumal, yang dijadikan sarana untuk mengungkapkan kebutuhan apa adanya. Hal-hal yang mendorong seseorang untuk mengemis –salah satu faktor penyebabnya- dikarenakan mudah dan cepatnya hasil yang didapatkan. Cukup dengan mengulurkan tangan kepada anggota masyarakat agar memberikan bantuan atau sumbangan.
Mengamen atau mengemis. Apa bedanya?
Yap, sebagian orang mengatakan ada perbedaan antara “mengamen”dan”dan mengemis”. Jadi, kalo mengamen itu memberikan jasa kepada orang lain berupa nyanyian atau motivasi semangat atau dalm bentuk apapun kepa orang lain, baik didalam bis, jalan-jalan, ataupun ditempat-tempat lain yang banyak dikunjungi oleh masyarakat.
Adapun mengemis, dia hanya bermodalkan tangan keatas, duduk ditempat-tenpat tertentu seperti dipasar, mesjid atau dipinggir-pinggir jalan. Serta sebuah wadah untuk orang menampung uang pemberian orang.
Yap, itu cuman anggapan. Walaupun ilustrasinya berbeda. Akan tetapi dalam hal pelaksanaannya hukumnya sama. Kenapa? Ya, sama-sama meminta. Kalau yang mengamen karena ia masih sempurna (tidak cacat), maka ia bisa menyanyikan lagu-lagu atau berceramah untuk orang lain. Adapun pengemis lebih kepada meminta-minta tanpa usaha apapun. Tapi tujuan utamanya adalah sama, menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa harus usaha keras.
Pandangan Syariat
Meminta-minta sumbangan atau mengemis pada dasarnya tidak disyari’atkan dalam agama Islam. Bahkan jika melakukannya dengan cara menipu atau berdusta kepada orang atau lembaga tertentu yang dimintai sumbangan dengan menampakkan dirinya seakan-akan dia adalah orang yang sedang kesulitan ekonomi, atau sangat membutuhkan biaya pendidikan anak sekolah, atau perawatan dan pengobatan keluarganya yang sakit, atau untuk membiayai kegiatan tertentu, maka hukumnya haram dan termasuk dosa besar.
Di antara dalil-dalil syar’i yang menunjukkan haramnya mengemis dan meminta-minta sumbangan, dan bahkan ini termasuk dosa besar adalah sebagimana diriwayatkan dari Abdullah bin Umar -radhiyallahu ‘anhuma-, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.”(HR. Shohih. HR. Bukhari no. 1474, dan Muslim no. 1040.)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallah ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Barangsiapa meminta-minta kepada manusia harta mereka untuk memperbanyak hartanya, maka sesungguhnya dia hanyalah sedang meminta bara api. Maka hendaknya dia mempersedikit ataukah memperbanyak.”(HR. Shohih. HR. Muslim II/720 no.1041, Ibnu Majah I/589 no. 1838, dan Ahmad II/231 no.7163.)
Nah, setelah sobat mengetahui apa hukum dari meminta-minta, maka sekarang mari kita mulai berkaca dan mengingstospeksi diri, berbenah untuk tidak menjadi pengemis atau jika sudah berlalu dan sudah terjadi, maka biarlah dan mari kita memulai hidup baru. Yang lebih indah.
Wallahu a'lam
0 komentar:
Posting Komentar