Kamis, 25 April 2013

Sampai Suatu Hari Nanti...






Sebenarnya, aku sudah mengenalnya sejak empat tahun yang silam. Saat – saat hari pertama di Pesantren ini, Pesantren Islam Al – Irsyad yang terletak di dekat lereng gunung Merbabu. Saat kami bersama-sama duduk belajar di bangku I’dad lughawi, program khusus untuk pemula di Pondok ini. Sebelum melanjutkan ke jenjang I’dad Muallimin. Namun, cerita ini baru ia ungkapkan saat kami sudah menduduki bangku kelas satu I’dad muallimin. Tepatnya pada awal semester dua.
Cerita itu masih begitu lekat dimemori pikiranku. Memori lama yang kuceritakan kembali. Semoga penuturan alur kisah ini mengalir di setiap relung-relung kehidupan orang – orang yang ingin mengambil pelajaran darinya.
Namanya Hendra Putra Ibunda. Ia kerap disapa dengan sebutan Hendra. Ia berasal dari keluarga yang ekonominya termasuk menengah keatas diwaktu itu. Dan karena ia tumbuh di tengah-tengah lingkungan yang penuh dengan kekerasan dan teman-temannya berandalan, maka terbentuklah ia sosok tipikal layaknya teman-temannya.
Benar seperti kata bijak :
 الصاحب الساحب والجالس الجانس
 “Seorang teman itu menyeret dan teman duduk itu sejenis”. Hendra pun terbawa kearus yang bergelimang dengan syahawat, penuh dengan kenistaan. Ia begitu lihai dengannya. Terbuai dengan kehidupannya. Merokok, pacaran menjadi suatu yang tidak asing lagi baginya di usia yang ke – 14 tahun ini. Bahklan miraspun beberapa kali ia menegakkan bersama teman-teman segengnya.
Yah, itu semua akibat pergaulan bebas.
Hendra, tipikal yang keras kepala. Walau ia mengetahui bahwa kedua orang tuanya sudah putus asa untuk menguruskan, namun rasa egoismenya selalu mengalahkan pribadinya, Ia lebih mengedepankan jiwa pembangkangannya.
Memang, kedua kakaknya telah dahulu masuk pesantren. Guntoro dan Adam, namanya. Kelakuan kedua kakaknya yang dahulu seperti Hendra, kini mereka berubah drastic, anak sholeh (kata orang). Bunda dan Ayahanda Hendra sangat bangga melihat prestasi kedua kakaknya itu. Ia begitu iri dengan mereka, karena mereka bisa melakukan keinginan kedua orang tuanya.
“Mereka memang anak-anak bunda yang sholeh,” ungkap bundanya suatu hari. Hendra yang tak sengaja mendengar ucapan Bundanya saat itu. Ia begitu jengkel dibuatnya, “Kok bunda memandang sebelah mata kepadakun”hatinya miris, teriris kecewa.”
Sampai kemudian,…
Waktupun berlalu satu tahun. Hendra naik ke kelas 3 SLTP Kota Karawang. Ia masih suka dengan kelakuan jeleknya. Tidak terlihat sedikitpun perubahan darinya, bahkan semakin hari kelakuannya semakin menjadi-jadi. Bermain bersama teman-teman segengnya, perempuan ataupun laki, sampai larut malam. Jiwanya sudah dikekang oleh hawa nafsunya.
“Inna annafsa laammaarotul bissu’”
Karena pada dasarnya jiwa itu selalu mengajak kepada kejelekan dan hanya orang-orang yang bertakwalah yang bisa mengelak darinya.
Di penghujung tahun ajaran 2008/2009….
Yah, walau nilai KKM UAN-Nya termasuk pas-pasan, Alhamdulilah ia termasuk siswa yang mendapat predikat “LULUS” juga pada tahun ini.
***
Sobat fata, sedikit flashback dari alur cerita ini, Yaitu dua bulan sebelum menjelang kelulusannya. Tepatnya pada bulan Februari 2009. Hendra mengikuti sebuah visi tesr di Pesantren Islam Al-Irsyad.
Dan…
Biiznillah, Bang Arif termasuk salah satu siswa yang beruntung, diterima di Pesantren ini diantara ratusan siswa yang ikut mendaftar pada waktu itu.
Untuk kali ini…
Demi kebahagiaan kedua orang tuanya. Ia mengikuti kemauan mereka. Walau ada rasa ganjil yang masih mengganjal dihatinya. Rasa ganjil itu bertambah disaat detik-detik keberangkatannya ke pesantren. Ia ingin mengikuti jejak langkah kedua kakaknya. Tapi, ia juga tak bisa meninggalkan teman-teman gengnya. Setiap saat kedua pikiran itu selalu bertarun g dala jiwanya.
Malam itu…
Hendra memutuskan untuk pergi, bermalam bersama teman-teman se gengnya. Hendra pun menghabisi malamnya bersama mereka, di sebuah warung di Kota Karawang, Ia ngobrol bersama teman-temannya, meminta saran dari mereka satu per satu.
“Bro…”
Lo bilang, bokap nyuruh lo masuk pesantren. Gak salah dengar apa?” Tanya Barkah, salah satu teman gengnya memulai pembicaraan.
“What? Masuk pesantren!” sahut Tipul Tercengang. Ia duduk dua meter lebih jauh dari Barkah, mulai mendekat kearah Hendra.
“Yah, mau gimana lagi? Guwe juga bingung nih. Lo- lo pada punya saran kaga?” Urat-urat kebingungan, tersirat jelas di raut wajahnya.
“Kalau menurut gue sih, terserah lo aja. Yang oenting, kita tetap bisa ngumpul-ngumpul seperti ini lagi diwaktu-waktu liburan nanti.” Saran Barkah dengan nada  sedikit direndahkan. Mereka hanya bertiga, dua temannya yang lain, Uzben dan Boim, sedang asyik merokok sambil tertawa-tawa. Kelima anggota geng perempuannya tidak hadir malam ini.
“Kalo lo pul ?”
“Gw juga terserah lo sich. Tapi, gw bakalan kangen banget sama lo, kalo ga lagi bersama kita disini.”
“Yaa…berarti besok gw harus ngasih tau nyokap, bokap gw dulu, kalo gw mau ikut masuk pesantren ….” Ucap Hendra terputus.  “Bro, tapi nggak ada lo, nggak rame juga,” lanjut Barkah.

***
Begitulah hari berlalu,
Mengalir bagaikan air
Satu Tahun kemudian…
Allah menguji ketegarannya slama di Pesantren…
Ia terserang penyakit Syaraf, yang menyebabkan salah satu urat syarafnya putus.
Aku yang menemaninya saat dilakukan diagnosa di salah satu dokter spesialis, ingin menutur sedikit dialog yang masih tersimpan di memoriku.
“Gimana dok hasilnya ?”tanya Hendra.
Hatinya bergetar, penuh harap, cemas. Kami memandang wajah sang dokter itu dengan serius, menunggu jawaban darinya.
“Gimana Dok?” Hendra kembali mengulangi pertanyaannya. Sampai berlalu satu menit kemudian. Tampaknya, lidahnya kelu untuk mengucapkannya. Hendra paham dengan isyarat itu, pertanda ia sedang dilanda sebuah cobaan yang berat buatnya. Ia menunduk pandangannya dijatuhkan kelantai. Aku melihat secercah air mulai berkaca-kaca dimatanya. Sebutir air itu jatuh mengenai keramik dibawahnya.
“Ia terserang penyakit Myasteniagrafis. Ini penyakit langka yang menimpa remaja usia dia….”..”  Ucap sang dokter dengan nada rendah. Ia terdiam sejenak,
“….Urat-urat syaraf pada manusi a umumnya membutuhkan  enzim sebagai penyambung antar syaraf. Sedangkan Bang Hendra, enzim di salah satu urat syarafnya kosong..” Jelas sang dokter. Tangannya mengambil sebuah spidol berwarna biru, kemudian ia menggambarkannya di papan whiteboard.



“…..Dan, ini biasa menyerang pada sel-sel syaraf yang lain. Yang menyebabkan otot-otot melemah, pandangan mata terasa sangat berat. Satu lagi, system kekebalan tubuh pada dasarnya melindungi tubuh dari macam-macam penyakit. Namun, system kekebalan tubuh pada Bang Hendra menyerang dirinya sendiri yang menyebabkan munculnya penyakit-penyakit yang lain” lanjutnya panjang lebar.
 “Innalillahi wainna ilaihi rajiun….” Ucapku pelan. Ia pun mengikuti,meniru ucapanku.
“Mungkin ini sebagai penghapus dosa, dari perbuatan-perbuatanku dahulu…” Kalimat Hendra begitu lirih terdengar.
“Kecuali dengan mukjizat dari Tuhan, jadi banyak-banyak berdoa meminta kepada Tuhan,” Sang dokter ikut bersedih. Ia berusaha memberi solusi yang terbaik buat pasiennya.
Walau ia seorang  penganut agama Kristen.
Yah, ia seorang Kristen yang berprofesi sebagai dokter spesialis.
Dari tampang wajahnya, terlihat ia keturunan  tionghoa. Namun ia begitu ramah dengan semua pasien, islam ataupun kristen.
Sekilas aku kagum dengan keramahannya. Namun rasa itu sirna begitu saja saat melihat temanku yang masih tertunduk lemas disampingku.
“Dok, apa solusi yang terbaik” tanyaku sambil memegang pundak syarif yang sedang merunduk.
“Kalau obat yang dapat menyembuhkan, saya belum menemukannya. Tapi, untuk sementara saya sarankan untuk memakai obat ini terlebih dahulu” Sang dokter menulis di secarik kertas, untuk dirujuk ke apotek. “Mestinon” tulisannya. Walau tulisannya sedikit kurang bias terbaca, maklum tulisan dokter

Beberapa saat kemudian…
Sebelah meminta rekomendasi pengobatan kepada sang dokter, kami pun beranjak keluar meninggalkan ruang diagnosa.
***
 ولنبلونّكم بشيئ من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثّمرات،وبشّرالصّابرين

“Dan sungguh kami akan menguji kalian (hamba-hambaki) dari ketakutan, kelaparan, kehausan dan kekurangan sebagain dari harta-harta dan kematian dan dari buah-buahan. Dan berilah kabar gembira kpada orang-orang yang bersabat” (Qs Al Baqoroh: 155)

***

Malam ini sangat dingin…
Serasa dipuncak gunung merbabu..
Jarum jam menunjukkan pada angka 10.00 tepat. Aku dan Hendra masih terduduk bersandar ke tembok didalam masjid Al – Fadhl, Pesantren Islam Al-Irsyad. Hanya beberapa santri yang masih terlihat didalam Masjid, sedang asyik belajar.
Dalam keheningan malam. Hendra menceritakan semua masa lalunya padaku. Ia mencurahkan semua isi hatinya. Hatinya remuk disetiap tutur katanya. Cerita yang penuh dengan kegelapan dan masa lalu yang suram. Ia begitu menyesal, namun waktu tak bisa direply kembali.
“Yang berlalu biarlah berlalu. Tatap masa depan yang cermerlang.Bersabar…. Isbir Yaa Akhi…” Setiap cobaan Allah pasti ada hikmahnya dan ingatlah firman Allah, “Inna Ma’a al-‘usri Yusro” ucapku diakhir ceritanya.

***

Kutulis risalah ini bukti dari rasa persahabatanku dengan ia, Hendra.
Melalui tulisan ini, aku ingin menyampaikan sepatah kata buat sahabatku Hendra Putra Ibunda, Karawang, yang lagi menuntut ilmu di Pesantren Islam Al-Irsyad. Syafaakallah yaa akhi. Syifaa an ‘aaji;an. Wayassarallau umuroku fidduinya wal akhirat. Amin ya Robbal Alamin.

 Salatiga, 12 – 03 – 2013
  Aboe Syuja’ Hamdani

0 komentar: