Sebenarnya, aku sudah mengenalnya sejak empat tahun yang silam. Saat –
saat hari pertama di Pesantren ini, Pesantren Islam Al – Irsyad yang terletak
di dekat lereng gunung Merbabu. Saat kami bersama-sama duduk belajar di bangku
I’dad lughawi, program khusus untuk pemula di Pondok ini. Sebelum melanjutkan
ke jenjang I’dad Muallimin. Namun, cerita ini baru ia ungkapkan saat kami sudah
menduduki bangku kelas satu I’dad muallimin. Tepatnya pada awal semester dua.
Cerita itu masih begitu lekat dimemori pikiranku. Memori lama yang
kuceritakan kembali. Semoga penuturan alur kisah ini mengalir di setiap
relung-relung kehidupan orang – orang yang ingin mengambil pelajaran darinya.
Namanya Hendra Putra Ibunda. Ia kerap disapa dengan sebutan Hendra. Ia
berasal dari keluarga yang ekonominya termasuk menengah keatas diwaktu itu. Dan
karena ia tumbuh di tengah-tengah lingkungan yang penuh dengan kekerasan dan
teman-temannya berandalan, maka terbentuklah ia sosok tipikal layaknya
teman-temannya.
Benar seperti kata bijak :
“Seorang teman itu menyeret dan
teman duduk itu sejenis”. Hendra pun terbawa kearus yang bergelimang dengan
syahawat, penuh dengan kenistaan. Ia begitu lihai dengannya. Terbuai dengan
kehidupannya. Merokok, pacaran menjadi suatu yang tidak asing lagi baginya di
usia yang ke – 14 tahun ini. Bahklan miraspun beberapa kali ia menegakkan
bersama teman-teman segengnya.
Yah, itu semua akibat pergaulan bebas.
Hendra, tipikal yang keras kepala. Walau ia mengetahui bahwa kedua orang
tuanya sudah putus asa untuk menguruskan, namun rasa egoismenya selalu
mengalahkan pribadinya, Ia lebih mengedepankan jiwa pembangkangannya.
Memang, kedua kakaknya telah dahulu masuk pesantren. Guntoro dan Adam,
namanya. Kelakuan kedua kakaknya yang dahulu seperti Hendra, kini mereka
berubah drastic, anak sholeh (kata orang). Bunda dan Ayahanda Hendra sangat
bangga melihat prestasi kedua kakaknya itu. Ia begitu iri dengan mereka, karena
mereka bisa melakukan keinginan kedua orang tuanya.
“Mereka memang anak-anak bunda yang sholeh,” ungkap bundanya suatu hari. Hendra
yang tak sengaja mendengar ucapan Bundanya saat itu. Ia begitu jengkel
dibuatnya, “Kok bunda memandang sebelah mata kepadakun”hatinya miris, teriris
kecewa.”
Sampai kemudian,…
Waktupun berlalu satu tahun. Hendra naik ke kelas 3 SLTP Kota Karawang.
Ia masih suka dengan kelakuan jeleknya. Tidak terlihat sedikitpun perubahan darinya,
bahkan semakin hari kelakuannya semakin menjadi-jadi. Bermain bersama
teman-teman segengnya, perempuan ataupun laki, sampai larut malam. Jiwanya
sudah dikekang oleh hawa nafsunya.
“Inna annafsa laammaarotul bissu’”
Karena pada dasarnya jiwa itu selalu mengajak kepada kejelekan dan hanya
orang-orang yang bertakwalah yang bisa mengelak darinya.
Di penghujung tahun ajaran 2008/2009….
Yah, walau nilai KKM UAN-Nya termasuk pas-pasan, Alhamdulilah ia termasuk
siswa yang mendapat predikat “LULUS” juga pada tahun ini.
***
Sobat fata, sedikit flashback dari alur cerita ini, Yaitu dua bulan
sebelum menjelang kelulusannya. Tepatnya pada bulan Februari 2009. Hendra
mengikuti sebuah visi tesr di Pesantren Islam Al-Irsyad.
Dan…
Biiznillah, Bang Arif termasuk salah satu siswa yang beruntung, diterima
di Pesantren ini diantara ratusan siswa yang ikut mendaftar pada waktu itu.
Untuk kali ini…
Demi kebahagiaan kedua orang tuanya. Ia mengikuti kemauan mereka. Walau
ada rasa ganjil yang masih mengganjal dihatinya. Rasa ganjil itu bertambah disaat
detik-detik keberangkatannya ke pesantren. Ia ingin mengikuti jejak langkah
kedua kakaknya. Tapi, ia juga tak bisa meninggalkan teman-teman gengnya. Setiap
saat kedua pikiran itu selalu bertarun g dala jiwanya.
Malam itu…
Hendra memutuskan untuk pergi, bermalam bersama teman-teman se gengnya. Hendra
pun menghabisi malamnya bersama mereka, di sebuah warung di Kota Karawang, Ia ngobrol
bersama teman-temannya, meminta saran dari mereka satu per satu.
“Bro…”
Lo bilang, bokap nyuruh lo masuk pesantren. Gak salah dengar apa?” Tanya
Barkah, salah satu teman gengnya memulai pembicaraan.
“What? Masuk pesantren!” sahut Tipul Tercengang. Ia duduk dua meter lebih
jauh dari Barkah, mulai mendekat kearah Hendra.
“Yah, mau gimana lagi? Guwe juga bingung nih. Lo- lo pada punya saran kaga?”
Urat-urat kebingungan, tersirat jelas di raut wajahnya.
“Kalau menurut gue sih, terserah lo aja. Yang oenting, kita tetap bisa ngumpul-ngumpul
seperti ini lagi diwaktu-waktu liburan nanti.” Saran Barkah dengan nada sedikit direndahkan. Mereka hanya bertiga,
dua temannya yang lain, Uzben dan Boim, sedang asyik merokok sambil
tertawa-tawa. Kelima anggota geng perempuannya tidak hadir malam ini.
“Kalo lo pul ?”
“Gw juga terserah lo sich. Tapi, gw bakalan kangen banget sama lo, kalo
ga lagi bersama kita disini.”
“Yaa…berarti besok gw harus ngasih tau nyokap, bokap gw dulu, kalo gw mau
ikut masuk pesantren ….” Ucap Hendra terputus.
“Bro, tapi nggak ada lo, nggak rame juga,” lanjut Barkah.
***
Begitulah hari
berlalu,
Mengalir
bagaikan air
Satu Tahun
kemudian…
Allah menguji
ketegarannya slama di Pesantren…
Ia terserang penyakit
Syaraf, yang menyebabkan salah satu urat syarafnya putus.
Aku yang
menemaninya saat dilakukan diagnosa di salah satu dokter spesialis, ingin
menutur sedikit dialog yang masih tersimpan di memoriku.
“Gimana dok
hasilnya ?”tanya Hendra.
Hatinya bergetar,
penuh harap, cemas. Kami memandang wajah sang dokter itu dengan serius,
menunggu jawaban darinya.
“Gimana Dok?” Hendra
kembali mengulangi pertanyaannya. Sampai berlalu satu menit kemudian.
Tampaknya, lidahnya kelu untuk mengucapkannya. Hendra paham dengan isyarat itu,
pertanda ia sedang dilanda sebuah cobaan yang berat buatnya. Ia menunduk
pandangannya dijatuhkan kelantai. Aku melihat secercah air mulai berkaca-kaca
dimatanya. Sebutir air itu jatuh mengenai keramik dibawahnya.
“Ia terserang penyakit Myasteniagrafis. Ini penyakit langka
yang menimpa remaja usia dia….”..” Ucap sang dokter dengan nada rendah. Ia
terdiam sejenak,
“….Urat-urat syaraf pada manusi a
umumnya membutuhkan enzim sebagai
penyambung antar syaraf. Sedangkan Bang Hendra, enzim di salah satu urat
syarafnya kosong..” Jelas sang dokter. Tangannya mengambil sebuah spidol
berwarna biru, kemudian ia menggambarkannya di papan whiteboard.
“…..Dan, ini biasa menyerang pada
sel-sel syaraf yang lain. Yang menyebabkan otot-otot melemah, pandangan mata
terasa sangat berat. Satu lagi, system kekebalan tubuh pada dasarnya melindungi
tubuh dari macam-macam penyakit. Namun, system kekebalan tubuh pada Bang Hendra
menyerang dirinya sendiri yang menyebabkan munculnya penyakit-penyakit yang lain”
lanjutnya panjang lebar.
“Innalillahi wainna ilaihi rajiun….” Ucapku
pelan. Ia pun mengikuti,meniru ucapanku.
“Mungkin ini
sebagai penghapus dosa, dari perbuatan-perbuatanku dahulu…” Kalimat Hendra
begitu lirih terdengar.
“Kecuali dengan
mukjizat dari Tuhan, jadi banyak-banyak berdoa meminta kepada Tuhan,” Sang
dokter ikut bersedih. Ia berusaha memberi solusi yang terbaik buat pasiennya.
Walau ia
seorang penganut agama Kristen.
Yah, ia seorang
Kristen yang berprofesi sebagai dokter spesialis.
Dari tampang
wajahnya, terlihat ia keturunan
tionghoa. Namun ia begitu ramah dengan semua pasien, islam ataupun
kristen.
Sekilas aku
kagum dengan keramahannya. Namun rasa itu sirna begitu saja saat melihat
temanku yang masih tertunduk lemas disampingku.
“Dok, apa solusi yang terbaik”
tanyaku sambil memegang pundak syarif yang sedang merunduk.
“Kalau obat yang dapat
menyembuhkan, saya belum menemukannya. Tapi, untuk sementara saya sarankan
untuk memakai obat ini terlebih dahulu” Sang dokter menulis di secarik kertas,
untuk dirujuk ke apotek. “Mestinon”
tulisannya. Walau tulisannya sedikit kurang bias terbaca, maklum tulisan dokter
Beberapa saat
kemudian…
Sebelah meminta
rekomendasi pengobatan kepada sang dokter, kami pun beranjak keluar meninggalkan
ruang diagnosa.
***
“Dan sungguh
kami akan menguji kalian (hamba-hambaki) dari ketakutan, kelaparan, kehausan
dan kekurangan sebagain dari harta-harta dan kematian dan dari buah-buahan. Dan
berilah kabar gembira kpada orang-orang yang bersabat” (Qs Al Baqoroh: 155)
***
Malam ini sangat
dingin…
Serasa dipuncak
gunung merbabu..
Jarum jam
menunjukkan pada angka 10.00 tepat. Aku dan Hendra masih terduduk bersandar ke
tembok didalam masjid Al – Fadhl, Pesantren Islam Al-Irsyad. Hanya beberapa
santri yang masih terlihat didalam Masjid, sedang asyik belajar.
Dalam keheningan
malam. Hendra menceritakan semua masa lalunya padaku. Ia mencurahkan semua isi
hatinya. Hatinya remuk disetiap tutur katanya. Cerita yang penuh dengan
kegelapan dan masa lalu yang suram. Ia begitu menyesal, namun waktu tak bisa
direply kembali.
“Yang berlalu
biarlah berlalu. Tatap masa depan yang cermerlang.Bersabar…. Isbir Yaa Akhi…”
Setiap cobaan Allah pasti ada hikmahnya dan ingatlah firman Allah, “Inna Ma’a
al-‘usri Yusro” ucapku diakhir ceritanya.
***
Kutulis risalah
ini bukti dari rasa persahabatanku dengan ia, Hendra.
Melalui tulisan
ini, aku ingin menyampaikan sepatah kata buat sahabatku Hendra Putra Ibunda,
Karawang, yang lagi menuntut ilmu di Pesantren Islam Al-Irsyad. Syafaakallah
yaa akhi. Syifaa an ‘aaji;an. Wayassarallau umuroku fidduinya wal akhirat. Amin
ya Robbal Alamin.
Aboe Syuja’ Hamdani
0 komentar:
Posting Komentar