Kesesatan NII: Posisi Negara = Allah, Pemimpinnya sebagai Rasul
inilah.com
Sembilan poin penyimpangan NII (Negara Islam Indonesia) yang muncul sejak 28 Januari 2002 lalu, menurut Ketua FUUI (Forum Ulama Umat Islam) Athian Ali Da’i sebagai berikut:
2. Dosa karena melakukan zina dan perbuatan maksiat lainnya dapat ditebus dengan uang dalam jumlah yang telah ditetapkan.
3. Tidak ada kewajiban meng-qadha saum Ramadan, tetapi cukup hanya dengan membayar uang dalam jumlah yang telah ditetapkan.
4. Untuk membangun sarana fisik dan biaya operasional gerakan, setiap anggota diwajibkan menggalang dana dengan menghalalkan segala cara, di antaranya menipu dan mencuri harta setiap muslim di luar gerakan tersebut termasuk orangtua sendiri.
5. Taubat hanya sah jika membayar apa yang mereka sebut ‘Shodaqoh Istigfar’ dalam jumlah yang ditetapkan.
6. Ayah kandung yang belum masuk ke dalam gerakan tersebut tidak sah menikahkan putrinya.
7. Tidak wajib melaksanakan ibadah haji kecuali telah menjadi mas’ul atau pimpinan dalam jumlah yang ditetapkan.
8. Qanun asasi (aturan dasar) gerakan tersebut dianggap lebih tinggi derajatnya dibadingkan kitab suci Alquran, bahkan tidak berdosa bila menginjak Mushaf Alquran.
9. Apa yang mereka sebut shalat aktivitas, dalam pengertian melaksanakan program gerakan dianggap lebih utama daripada shalat fardu.
Sebagaimana hal itu diberitakan INILAH.COM, Forum Ulama Umat Islam (FUUI) menyatakan sejak 10 tahun lalu, telah mengawasi gerak-gerik dan memerangi Negara Islam Indonesia (NII).
FUUI juga mengeluarkan fatwa soal penyimpangan gerakan NII. “Kita sudah mengeluarkan fatwa yang cukup membuat lumpuh mereka (Jaringan NII) sementara, tapi tidak bisa total Karana harus ada kekuatan yang kuat melalui pemerintah untuk memutus mata rantai mereka,” kata Ketua FUUI Athian Ali Da’i usai dialog NII bersama siswa dan mahasiswa se-Kota Bandung di Masjid Al-Fajr, Jalan Cijagra Buahbatu Kota Bandung, Sabtu (30/4/2011, menurut berita inilah.com.
Kesesatan NII: Posisi Negara = Allah, Pemimpinnya sebagai Rasul
Sementara itu kompas.com memberitakan
Konsep negara bagi NII, orang-orang di luar NII dianggap kafir, zalim, dan fasik.
Bentuk-bentuk penyelewengan akidah yang terjadi di dalam NII adalah umatnya menafsirkan Al Quran sesuai dengan kepentingan organisasi. “Mereka membagi shalat menjadi dua, yakni salat ritual dan shalat universal. Negara posisinya dianggap sama dengan Allah dan para pemimpinnya sebagai rasul dan mereka menghalalkan segala cara untuk memenuhi target,” ujar Ken Setiawan dari NII Crisis Center, di Bandung, Jumat (29/4).
NII memiliki tak kurang dari 170 ribu jemaah, dalam sebulan wajib setor hingga Rp14 miliar.
Inilah beritanya:
Anggota NII Wajib Setor Rp 14 M/Bulan
Negara Islam Indonesia (NII) Komandemen Wilayah IX memiliki tak kurang dari 170 ribu jemaah, sebanyak 120 ribu jemaah di antaranya terkonsentrasi di Jakarta yang mayoritas anggota NII KW IX adalah mahasiswa yang dalam sebulan wajib setor hingga Rp14 miliar.
Hal itu dikatakan Ken Setiawan dari NII Crisis Center dalam sebuah seminar bertajuk “Mewaspadai Gerakan NII di Kampus dan Masyarakat”, yang berlangsung di Kampus Unpad Jatinangor, Sumedang, Jumat (29/4).
Dikatakan, gerakan NII yang awalnya diproklamasikan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo itu memang mengalami pasang surut. “Pascapenawanan dan eksekusi Kartosuwiryo 1962 lalu, NII pun diwarnai dengan munculnya fraksi-fraksi baru. Pelencengan akidah di NII KW IX mulai terjadi saat Abu Toto menjadi imam (1996),” katanya.
Dia berpendapat, Tauhid RMU, yang merupakan singkatan dari rububiyah (hukum), mulkiyah(tempat), uluhiyah (umat), merupakan konsep negara bagi NII, orang-orang di luar NII dianggap kafir, zalim, dan fasik.
Bentuk-bentuk penyelewengan akidah yang terjadi di dalam NII adalah umatnya menafsirkan Al Quran sesuai dengan kepentingan organisasi. “Mereka membagi shalat menjadi dua, yakni salat ritual dan salat universal. Negara posisinya dianggap sama dengan Allah dan para pemimpinnya sebagai rasul dan mereka menghalalkan segala cara untuk memenuhi target,” ujar dia.
Berhaji ke Indramayu
Bahkan, kata dia, para penganut NII melaksanakan haji ke ibu kota negara mereka, yakni Indramayu. “Selain persoalan penyelewengan akidah, perkembangan NII KW IX juga ditandai dengan pengerukan dana besar-besaran. Organisasi yang mayoritas anggotanya mahasiswa ini memiliki setoran tiap bulan untuk infak sebesar Rp14 miliar,” tandasnya.
Angka yang fantastis itu belum mencakup delapan pos keuangan lain. Dalam proses pencarian dananya, ada banyak modus yang biasa dilakukan.
“Umumnya mereka menggunakan semua uang yang dimiliki seperti, uang saku, tabungan dan gaji. Ada pula yang menjual barang-barang berharga, menipu orangtua dengan alasan menghilangkan atau merusakkan barang teman, membuat surat palsu mengatasnamakan kegiatan kampus, menyebar proposal atau meminta sumbangan, bahkan melalui mencuri dari orang di luar kelompok,” urai Ken.
Menurut dia, semua dana yang terkumpul dari anggota kemudian dipusatkan di rekening pribadi Abu Toto. Dengan sirkulasi dana yang ada di dalam tubuh NII, perekrutan anggota baru menjadi hal yang sangat krusial di organisasi tersebut.
Ken menjelaskan, biasanya untuk merekrut itu setidaknya diperlukan dua anggota jemaah, satu orang pemancing dan lainnya pengajak.
“Pemancing bertugas menentukan target, mengawal, serta memotivasi calon jemaah. Sementara itu, pemancing berpura-pura sebagai calon jemaah yang juga baru diajak. Keduanya akan mengawal calon jemaah hingga tahap hijrah, termasuk menginap di rumah calon jemaah dan pencarian dana untuk sedekah,” papar Ken yang diamini Sukanto, aktivis NII (1996-2001) dalam seminar itu.
“Karena itulah, kita sebenarnya bisa mengidentifikasi manakala teman atau saudara-saudara kita terbujuk untuk masuk dalam NII,” ujarnya.
Di antara tanda-tanda itu mereka memiliki teman baru, jarang kuliah, atau mungkin cuti, pulang sering telat tanpa alasan jelas, nilai menurun drastis, menghindar dari teman lama, banyak bohong, sangat sibuk dan teleponnya tak berhenti berdering, mulai merekrut teman-teman terdekatnya, dan menjadi distributor atau penjual majalah Al Zaytun.
Oleh karena itu, kata dia, bila melihat tanda-tanda semacam itu ada pada orang-orang yang dikenal, disarankan agar mengumpulkan bukti seperti data atau kesaksian dari orang yang pernah diajak, melaporkannya ke orangtua korban, memutuskan koordinasi antara korban dan kelompoknya, memberikan pencerahan lewat perbandingan ideologi atau mempertemukan dengan orang yang sudah sadar dari NII, dan berbagai pendekatan lainnya. Demikian berita dari KOMPAS.com —Robert Adhi Kusumaputra | Sabtu, 30 April 2011 | 14:49 WIB.
(nahimunkar.com)
0 komentar:
Posting Komentar