Jumat, 26 April 2013

Aku Ingin Menjadi….




Aku orang yang serba kurang. Orang bilang, aku adalah orang yang memiliki IQ jongkok. Demikianlah ejekan orang-orang kepadaku setiap haru. Tak ada yang bisa kulakukan, aku tak berani walau hanya sekedar membalas atau mengelak dari ejekan mereka. Hanya lembaran-lembaran yang selalu menjadi saksi atas setiap kejadian-kejadian dikeseharianku. “Buku diary” kata orang.
Bersama dengan hari, kulalui semua mimpi-mimpi. Aku dan teman-temanku, kami tinggal di Darul Aitami (Tempat penampungan Anak-anak Yatim). Disebuah kompleks dekat hutan Meurebo. Sekolah kami masih nginduk ke sekolah luar.
Yah, maklum. Pesantren Ya Pesantren, bukan sekolah. Kalau mau sekolah harus keluar area pesantren, harus menempuh jarak 3 km dari pesantren. Pesantren ini mirip seperti panti asuhan. Oh ya, aku pernah tinggal di Panti Asuhan, Darul aitami, namanya. Ini seculas dari catatan harianku.

Hari ini, Mei 2008 ….
Matahari mulai meninggi seujung tombak. Rasa terik panasnya semakin terasa kedasar-dasar kulit. Siswa SMP Meurebo. SMP ku yang letaknya di pinggiran Kota Meulaboh – Aceh Barat.
Sekarang, jadwal pelajaran olahraga, Kelas-kelas kosong, sepi. Seluruh siswa sedang asyik berolahraga dilapangan depan gedung sekolah. Hanya beberapa siswi yang masih dikelas, tidak mengikuti pelajaran penjaskes.
# “Rahmat!!! Ayo!! ” Teriak teman-teman cowok dan cewek menyeruak, memberi semangat. Saat ini jadwal lompat tinggi. Permainannya baru dimulai, semakin lama diameternya semakin meninggi. Mulai dari satu meter setengah hingga dua meter. Semua siswa cowok bersemangat ingin meraihnya. Siswi cewek tampak histeris. Setiap peserta yang melompat, mereka selalu mengeluarkan suara-suara penyemangat.
“Ayo,,,ayo…ayo…!!”
“Rahmat !! ayo!!!”
“Andi..!!”
“Sulaiman!!”
“Heri!!”
Giliran aku, “Syuja’ Uzben!!” Suara Pelatih terdengar dari TOA, menyebutkan namaku.
“Haaahaha. Cuman gaya nama tok pemberani, padahal letoi!!!”
“Wooo..!!!” sorak siswa – siswa cewek.
Seringkali aku mendengar teriakan seperti itu. Ejekan – ejekan tak membangun . Hatiku slalu ciut saat mendengarkan kalimat itu. Nyaliku hilang setiap kali giliran lompatanku.

Berganti ke-Season Kedua….
Permainan Lempar Lembing
Semua peserta cowok, kembali yang menjadi aktor – aktornya. Siswa cewek sebagai penonton setia, siap memberi dukungan penyemangat.
“Priiitt!!!”
“Permainan dimulai!!!” Teriak Pak Ali sebagai pelatih olahraga kami. Semua siswa putra yang berjumlah 20 orang sudah siap di posisi masing-masing dengan lembing tergenggam erat di tangan mereka.
“Rahmat!!! Rahmat!!!Rahmat” kembali temenku Rahmat yang menjadi figur utama. Memang, Rahmat siswa yang mempunyai fisik spesifik. Ia menguasai semua bidang olahraga, mulai dari bola, volly basket, tennis meja, lempar lembing, peluru, cakram dan masih banyak olahraga lainnya yang ia kuasai. Teman se-sekolah menyebutnya multi level. Serba bisa. Setiap ada olimpiade olahraga luar sekolah, ia selalu yang menjadi utusan SMP meurebo ini.
Permainannya semakin memanas. Rahmat maju terkesiap. Sorak-sorai siswa-siswi cewek menggelegar. Riuh.
Lemparan Pertama….
Wusshhhh…Tok!!
40 meter, menancap tegak. Setiap peserta diberi jatah 3 kali lemparan.
Rahmat lulus. Semua lemparan masuk kategori, “Baik” Selanjutnya giliran Sulaiman, Andi, Hasbi, Nanda, Imam. Lemparan mereka semuanya rata-rata mencapai 30 sampai 35 meter. Belum ada yang bisa menandingi lemparan Rahmat. Selanjutnya, giliranku “Syuja’Uzben!!” Teriak Sang Pelatih dengan semangat.
Akupun maju, melangkah setengah gemetar. Langkahku, patah-patah, nggak terarah. Aku grogi. Ah, mau aku taruh dimana wajahku ini? Seperti persangkaanku sebelumnya. Semua siswa cewek meneriakkanku dengan nada-nada yang merendahkan.
“Woo!! Namanya tok “pemberani”, padahal lemot!!!” Suara-suara mereka semakin meninggi, membuat nyaliku bertambah ciut. Aku tertahan. Terasa berat sekali mengangkat lembing ini. Padahal bisa diangkat hanya menggunakan satu jari. Aku bagai orang yang terkena penyakit malaria, gemetar. Lemparanku melesat dari jari – jemariku. Hanya 25 meter. Uh, mau ditaruh dimana mukaku ini!!”
# Jam olahraga kelas 3-A sudah usai. 2 jam telah berlalu tanpa terasa.
Sebagian siswa sudah pada kembali kekelas, terutama siswa – siswi cewek. Siswa cowok masih asik ngobrol hasil permainan barusan, sambil menghilangkan keringat yang mengucur dari pori-pori tubuh.
10 menit kemudian …
Kami mulai berjalan menuju kelas. Lima menit lagi pelajaran IPA akan masuk. Gurunya galak. Telat sedikit, tidak  boleh masuk. Kami sedikit mempercepat langkah-langkah jalan.
Pintu kelas terbuka lebar. Kami langsung masuk menerobos satu per satu kedalam ruang kelas. Aku yang dipaling terakhir. Heran!!! Pada kemana siswa cewek? Kok kosong barisan ceweknya? ..
Kelas kami dibagi dua, setengah buat bagian cewek dan setengah bagian lagi buat anak-anak cowok, dibatasi dengan sekat di bagian tengah. Guru yang mengajar dibagian tengah depan kelas. Mereka ditempat cowok pada ngumpul! Aku masuk, langkahku agak grogi saat melihat teman-teman cewek.
Tiba-tiba, “Waahhh….!!!” Aku terkejut bertambah grogi, salah tingkah. Teriakan mereka menggema disetiap sudut-sudut kelas. Mereka sedang mengerumuni mejaku, buku harianku terbuka lebar dihadapan mereka.
Salah seorang dari mereka, Bunga, langsung berkomentar.
“Alah, mau ke Mesir. Anak Lemot..”
“Eh, si letoi mau ke Mesir nih, baca buku hariannya… Emang, bisa apa dia??” Komentar yang lain, disambut dengan suara-suara miris lainnya.
“Hooo..!!!”
Gelak tawapun membahana seisi kelas.
“Mustahiil..!!”
Aku geram mendengar setiap kata-kata mereka. jiwaku slalu memberontak .Amarahku naik, kesabaranku habis saat itu.
“Kalian!!” Taruh bukuku! Cepat!!! “Bentakku. Terdiam.
“Sekarang, kalian boleh menghinaku. Tapi liat! Suatu hari nanti, kita pasti berbeda!!”  Tak pernah kusangka sebelumnnya, kata-kata itu akan keluar dari mulutku. Semuanya terdiam, bungkam seribu bahasa. Mereka tertegun, tak pernah melihat kemarahanku seperti ini. Aku orang yang paling pendiam dikelas selama ini. Tapi sekarang aku bagai Singa yang kelaparan, “Yah, sedikit galak menurutku.”
“Kau! Kau! dan Kau! Asal kalian tahu! Aku boleh lemah dari segi fisikku.  Tapi aku nggak pernah membiarkan otakku melemah..!!!” Lanjutku sambil jari telunjukku merampas muka-muka mereka.
Tak ada yang menyadari sebelumnya, guru IPA sudah sejak tadi berdiri disamping sekat pembatas, sebelah cewek, menunggu kemarahanku usai. Sejak tadi ia hanya mendengar emosiku kepada teman-teman cewek. Ia sedikit kaget, saat pandanganku tak sengaja melirik kehadapannya. Ia langsung maju kedepan kelas.
“Semuanya kembali kebangku masing-masing!!” Perintahnya.
Semua siswa bergerak kebangku – bangkunya. Suara gesekan meja dengan keramik mengeluarkan bunyi desing.
“Ya, sekarang kalian tau! Kalian sudah menyaksikannya..”
“………….Dulu, orang yang kita kenal pendiam, ternyata ia menyimpan sejuta saripati dalam sanubarinya. Tapi, kalian mengeruhkannya. Kalian merusaknya. Mungkin, saat itu ia hanya bisa berkata, “Silahkan kalian mengejek, dan aku akan bersabar. Tapi Syuja’ manusia yang punya rasa. ” Sabar, ada batasnya. Hari ini, ejekan, hinaan, dan kata-kata kotor yang kalian lontarkan kepadanya setiap hari sudah membuncah. Kesabarannya berakhir…”
“…Kalian, hati-hati dengan do’a orang yang terdholimi. Karena do’a orang yang terdholimi tidak ada hijab..!!!” lanjut guru IPA panjang lebar. Membelaku.
Aku melirik raut wajah teman-teman cowok satu persatu. Mereka tersipu malu, menunduk. Wajah-wajah teman cewek tak terlihat, tertutup oleh sekat pembatas. Hanya suara-suara kecil mereka yang terdengar.
“Ya Allah…”
“Syuja’, kami minta maaf,” sahut beberapa siswa cewek dari balik skat.
“Syuja’, tolong kamu maju kedepan! Biar semuanya bisa melihat mu” Perintah Bu IPA. Sesuai perintah Bu Guru, akupun maju melangkah kedepan kelas.
“Ibu harap, semuanya maju satu per satu minta maaf sama Syuja’”, Hatiku terharu mendengar tingkah Bu IPA. Jarang sekali ada orang datang kepadaku untuk minta maaf. Boro-boro minta maaf, sapaan salamku saja tak ada yang menghiraukan. Dunia bagai penjara bagiku.
5 tahun kemudian…


Kejadian demi cobaanpun silih berangsur…Aku sudah menyelesaikan pendidikan lanjutanku di sebuah SMA terkenal di Pulau Jawa. SMA International Islamic of Irsyad namanya. Dengan berbekal beasiswa dari Pemerintah Daerah (Pemda) – NAD. semua kejadian 5 tahun yang lalu sudah lekas dari memori pikiranku. Sekarang adalah hariku untuk berbenah.
Agustus 2014……..
Sepucuk surat dari alamat yang tertera dengan jelas dikopnya tertuju kepadaku..
SURAT PEMBERITAHUAN KELULUSAN TEST UNTUK MELANJUTKAN STUDY KE UNIVERSITAS ISLAM MADINAH - KSA”
Jantungku berdegup kencang, kubaca isi surat itu kata demi kata. Sesaat, pandanganku langsung tertuju kearah hasil test, taqdir “ANTA NAJIH”, Lulus, Yaa Allah… Mataku berbinar. Semua anggota tubuhku seakan merekah. Setetes air mata haru tampak bergelayut diantara bulu-bulu mataku, mengalir melalui pori-pori. Sesaat berhenti didagu, mengumpul, tetesan itu kemudian jatuh kelantai. Tess..!! Aku merasa bagai orang yang paling bahagia sedunia.

Tak pelak, tubuhku langsung tersungkur kelantai ingin membuktikan rasa syukurku kepadanya Ilahi Al Alamin. Aku bersujud, bersimpuh dihadapannya dengan keadaan yang sangat hina. Pujian dan sanjungan berkali-kali keluar dari lisanku untuk Robbul Ilaahil Waahid.
Aku terduduk termenung, betapa nanti aku akan belajar dikota Nabi. Menikamati wahana alamnya. Aku teringat memori lamaku. Saat aku diejek, diwaktu olahraga, ruang kelas, ruang makan dimanapun kutemui teman-temanku, terutama siswa-siswa cewek.
Ada rasa yang terbetik dalam benakku, ingin menyampaikan kabar gembira ini kepada individu mereka. Tapi, tidak! Biarlah mereka mengetahui sendiri suatu hari nanti…
“Aku rindu kalian, sahabat lamaku..” Bisik batinku.
***

Ponpes Al – Irsyad, 18 – 03 – 2013
By. Aboe Syuja’ Hamdani

Continue reading Aku Ingin Menjadi….

Kamis, 25 April 2013

Sampai Suatu Hari Nanti...






Sebenarnya, aku sudah mengenalnya sejak empat tahun yang silam. Saat – saat hari pertama di Pesantren ini, Pesantren Islam Al – Irsyad yang terletak di dekat lereng gunung Merbabu. Saat kami bersama-sama duduk belajar di bangku I’dad lughawi, program khusus untuk pemula di Pondok ini. Sebelum melanjutkan ke jenjang I’dad Muallimin. Namun, cerita ini baru ia ungkapkan saat kami sudah menduduki bangku kelas satu I’dad muallimin. Tepatnya pada awal semester dua.
Cerita itu masih begitu lekat dimemori pikiranku. Memori lama yang kuceritakan kembali. Semoga penuturan alur kisah ini mengalir di setiap relung-relung kehidupan orang – orang yang ingin mengambil pelajaran darinya.
Namanya Hendra Putra Ibunda. Ia kerap disapa dengan sebutan Hendra. Ia berasal dari keluarga yang ekonominya termasuk menengah keatas diwaktu itu. Dan karena ia tumbuh di tengah-tengah lingkungan yang penuh dengan kekerasan dan teman-temannya berandalan, maka terbentuklah ia sosok tipikal layaknya teman-temannya.
Benar seperti kata bijak :
 الصاحب الساحب والجالس الجانس
 “Seorang teman itu menyeret dan teman duduk itu sejenis”. Hendra pun terbawa kearus yang bergelimang dengan syahawat, penuh dengan kenistaan. Ia begitu lihai dengannya. Terbuai dengan kehidupannya. Merokok, pacaran menjadi suatu yang tidak asing lagi baginya di usia yang ke – 14 tahun ini. Bahklan miraspun beberapa kali ia menegakkan bersama teman-teman segengnya.
Yah, itu semua akibat pergaulan bebas.
Hendra, tipikal yang keras kepala. Walau ia mengetahui bahwa kedua orang tuanya sudah putus asa untuk menguruskan, namun rasa egoismenya selalu mengalahkan pribadinya, Ia lebih mengedepankan jiwa pembangkangannya.
Memang, kedua kakaknya telah dahulu masuk pesantren. Guntoro dan Adam, namanya. Kelakuan kedua kakaknya yang dahulu seperti Hendra, kini mereka berubah drastic, anak sholeh (kata orang). Bunda dan Ayahanda Hendra sangat bangga melihat prestasi kedua kakaknya itu. Ia begitu iri dengan mereka, karena mereka bisa melakukan keinginan kedua orang tuanya.
“Mereka memang anak-anak bunda yang sholeh,” ungkap bundanya suatu hari. Hendra yang tak sengaja mendengar ucapan Bundanya saat itu. Ia begitu jengkel dibuatnya, “Kok bunda memandang sebelah mata kepadakun”hatinya miris, teriris kecewa.”
Sampai kemudian,…
Waktupun berlalu satu tahun. Hendra naik ke kelas 3 SLTP Kota Karawang. Ia masih suka dengan kelakuan jeleknya. Tidak terlihat sedikitpun perubahan darinya, bahkan semakin hari kelakuannya semakin menjadi-jadi. Bermain bersama teman-teman segengnya, perempuan ataupun laki, sampai larut malam. Jiwanya sudah dikekang oleh hawa nafsunya.
“Inna annafsa laammaarotul bissu’”
Karena pada dasarnya jiwa itu selalu mengajak kepada kejelekan dan hanya orang-orang yang bertakwalah yang bisa mengelak darinya.
Di penghujung tahun ajaran 2008/2009….
Yah, walau nilai KKM UAN-Nya termasuk pas-pasan, Alhamdulilah ia termasuk siswa yang mendapat predikat “LULUS” juga pada tahun ini.
***
Sobat fata, sedikit flashback dari alur cerita ini, Yaitu dua bulan sebelum menjelang kelulusannya. Tepatnya pada bulan Februari 2009. Hendra mengikuti sebuah visi tesr di Pesantren Islam Al-Irsyad.
Dan…
Biiznillah, Bang Arif termasuk salah satu siswa yang beruntung, diterima di Pesantren ini diantara ratusan siswa yang ikut mendaftar pada waktu itu.
Untuk kali ini…
Demi kebahagiaan kedua orang tuanya. Ia mengikuti kemauan mereka. Walau ada rasa ganjil yang masih mengganjal dihatinya. Rasa ganjil itu bertambah disaat detik-detik keberangkatannya ke pesantren. Ia ingin mengikuti jejak langkah kedua kakaknya. Tapi, ia juga tak bisa meninggalkan teman-teman gengnya. Setiap saat kedua pikiran itu selalu bertarun g dala jiwanya.
Malam itu…
Hendra memutuskan untuk pergi, bermalam bersama teman-teman se gengnya. Hendra pun menghabisi malamnya bersama mereka, di sebuah warung di Kota Karawang, Ia ngobrol bersama teman-temannya, meminta saran dari mereka satu per satu.
“Bro…”
Lo bilang, bokap nyuruh lo masuk pesantren. Gak salah dengar apa?” Tanya Barkah, salah satu teman gengnya memulai pembicaraan.
“What? Masuk pesantren!” sahut Tipul Tercengang. Ia duduk dua meter lebih jauh dari Barkah, mulai mendekat kearah Hendra.
“Yah, mau gimana lagi? Guwe juga bingung nih. Lo- lo pada punya saran kaga?” Urat-urat kebingungan, tersirat jelas di raut wajahnya.
“Kalau menurut gue sih, terserah lo aja. Yang oenting, kita tetap bisa ngumpul-ngumpul seperti ini lagi diwaktu-waktu liburan nanti.” Saran Barkah dengan nada  sedikit direndahkan. Mereka hanya bertiga, dua temannya yang lain, Uzben dan Boim, sedang asyik merokok sambil tertawa-tawa. Kelima anggota geng perempuannya tidak hadir malam ini.
“Kalo lo pul ?”
“Gw juga terserah lo sich. Tapi, gw bakalan kangen banget sama lo, kalo ga lagi bersama kita disini.”
“Yaa…berarti besok gw harus ngasih tau nyokap, bokap gw dulu, kalo gw mau ikut masuk pesantren ….” Ucap Hendra terputus.  “Bro, tapi nggak ada lo, nggak rame juga,” lanjut Barkah.

***
Begitulah hari berlalu,
Mengalir bagaikan air
Satu Tahun kemudian…
Allah menguji ketegarannya slama di Pesantren…
Ia terserang penyakit Syaraf, yang menyebabkan salah satu urat syarafnya putus.
Aku yang menemaninya saat dilakukan diagnosa di salah satu dokter spesialis, ingin menutur sedikit dialog yang masih tersimpan di memoriku.
“Gimana dok hasilnya ?”tanya Hendra.
Hatinya bergetar, penuh harap, cemas. Kami memandang wajah sang dokter itu dengan serius, menunggu jawaban darinya.
“Gimana Dok?” Hendra kembali mengulangi pertanyaannya. Sampai berlalu satu menit kemudian. Tampaknya, lidahnya kelu untuk mengucapkannya. Hendra paham dengan isyarat itu, pertanda ia sedang dilanda sebuah cobaan yang berat buatnya. Ia menunduk pandangannya dijatuhkan kelantai. Aku melihat secercah air mulai berkaca-kaca dimatanya. Sebutir air itu jatuh mengenai keramik dibawahnya.
“Ia terserang penyakit Myasteniagrafis. Ini penyakit langka yang menimpa remaja usia dia….”..”  Ucap sang dokter dengan nada rendah. Ia terdiam sejenak,
“….Urat-urat syaraf pada manusi a umumnya membutuhkan  enzim sebagai penyambung antar syaraf. Sedangkan Bang Hendra, enzim di salah satu urat syarafnya kosong..” Jelas sang dokter. Tangannya mengambil sebuah spidol berwarna biru, kemudian ia menggambarkannya di papan whiteboard.



“…..Dan, ini biasa menyerang pada sel-sel syaraf yang lain. Yang menyebabkan otot-otot melemah, pandangan mata terasa sangat berat. Satu lagi, system kekebalan tubuh pada dasarnya melindungi tubuh dari macam-macam penyakit. Namun, system kekebalan tubuh pada Bang Hendra menyerang dirinya sendiri yang menyebabkan munculnya penyakit-penyakit yang lain” lanjutnya panjang lebar.
 “Innalillahi wainna ilaihi rajiun….” Ucapku pelan. Ia pun mengikuti,meniru ucapanku.
“Mungkin ini sebagai penghapus dosa, dari perbuatan-perbuatanku dahulu…” Kalimat Hendra begitu lirih terdengar.
“Kecuali dengan mukjizat dari Tuhan, jadi banyak-banyak berdoa meminta kepada Tuhan,” Sang dokter ikut bersedih. Ia berusaha memberi solusi yang terbaik buat pasiennya.
Walau ia seorang  penganut agama Kristen.
Yah, ia seorang Kristen yang berprofesi sebagai dokter spesialis.
Dari tampang wajahnya, terlihat ia keturunan  tionghoa. Namun ia begitu ramah dengan semua pasien, islam ataupun kristen.
Sekilas aku kagum dengan keramahannya. Namun rasa itu sirna begitu saja saat melihat temanku yang masih tertunduk lemas disampingku.
“Dok, apa solusi yang terbaik” tanyaku sambil memegang pundak syarif yang sedang merunduk.
“Kalau obat yang dapat menyembuhkan, saya belum menemukannya. Tapi, untuk sementara saya sarankan untuk memakai obat ini terlebih dahulu” Sang dokter menulis di secarik kertas, untuk dirujuk ke apotek. “Mestinon” tulisannya. Walau tulisannya sedikit kurang bias terbaca, maklum tulisan dokter

Beberapa saat kemudian…
Sebelah meminta rekomendasi pengobatan kepada sang dokter, kami pun beranjak keluar meninggalkan ruang diagnosa.
***
 ولنبلونّكم بشيئ من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثّمرات،وبشّرالصّابرين

“Dan sungguh kami akan menguji kalian (hamba-hambaki) dari ketakutan, kelaparan, kehausan dan kekurangan sebagain dari harta-harta dan kematian dan dari buah-buahan. Dan berilah kabar gembira kpada orang-orang yang bersabat” (Qs Al Baqoroh: 155)

***

Malam ini sangat dingin…
Serasa dipuncak gunung merbabu..
Jarum jam menunjukkan pada angka 10.00 tepat. Aku dan Hendra masih terduduk bersandar ke tembok didalam masjid Al – Fadhl, Pesantren Islam Al-Irsyad. Hanya beberapa santri yang masih terlihat didalam Masjid, sedang asyik belajar.
Dalam keheningan malam. Hendra menceritakan semua masa lalunya padaku. Ia mencurahkan semua isi hatinya. Hatinya remuk disetiap tutur katanya. Cerita yang penuh dengan kegelapan dan masa lalu yang suram. Ia begitu menyesal, namun waktu tak bisa direply kembali.
“Yang berlalu biarlah berlalu. Tatap masa depan yang cermerlang.Bersabar…. Isbir Yaa Akhi…” Setiap cobaan Allah pasti ada hikmahnya dan ingatlah firman Allah, “Inna Ma’a al-‘usri Yusro” ucapku diakhir ceritanya.

***

Kutulis risalah ini bukti dari rasa persahabatanku dengan ia, Hendra.
Melalui tulisan ini, aku ingin menyampaikan sepatah kata buat sahabatku Hendra Putra Ibunda, Karawang, yang lagi menuntut ilmu di Pesantren Islam Al-Irsyad. Syafaakallah yaa akhi. Syifaa an ‘aaji;an. Wayassarallau umuroku fidduinya wal akhirat. Amin ya Robbal Alamin.

 Salatiga, 12 – 03 – 2013
  Aboe Syuja’ Hamdani

Continue reading Sampai Suatu Hari Nanti...

Romi…. Akankah Semuanya Berubah......???







Tak pernah terbetik dalam benak Romi untuk menjadi seorang muazin dan sebagai pelantun ayat suci al-qur’an di kemudian hari. Hidupnya yang penuh glamour  menjadikanya jauh dari robbnya.
Masa-masa di SD sampai SLTP ia habiskan hanya untuk bersenang-senang. Dia ingin membuktikan pada teman-temannya bahwa dialah orang yang hebat, dialah orang yang terkuat, dia ingin menjadi yang terdepan dalam setiap perkelahian dan persengketaan, karena jiwa remajanya begitu deras mengalir di setiap relung-relung kehidupannya.
Bermula dari masa belajarnya di salah satu SDN kota palembang sampai kemudian melanjutkan SLTP di sana. Romi sosok yang berambut gondrong dan mempunyai sifat yang tempera mental, karena begitulah sifat kebanyakan orang-orang Palembang. Mudah marah. Sedikit ada masalah langsung terjadi perang antar desa, sampai kemudian saling membunuh.

*****

            Semenjak menduduki bangku kelas 6 SD,  Romi telah membentuk satu geng yang  dimotorioleh dirinya sendiri dan hanya beranggotakan 10 orang. Setiap berangkat ke sekolah Romi dan teman-temannya selalu siap bersedia untuk membawa pisau atau senjata tajam lainnya.
Sampai kemudian ia melanjutkan studinya di SLTP kota Palembang tersebut, namun sifatnya belum berubah sedikitpun. Bahkan di umur yang ke 15 tahun ini, di saat ia menduduki bangku kelas 3 SLTP, Romi tumbuh sering berantem, baik perorangan atau antar geng, dan itu bukan sesuatu yang asing lagi bagi dia.

**********************

Innan Nafsa la’ammarotul Bissu’… (Sesungguhnya jiwa itu selalu mendorong untuk berbuat amalan-amalan kejelekan). Terlebih lagi bagi seorang Romi yang belum memiliki basic iman sedikitpun, walaupun ia beragama islam, namun ia merasa begitu jauh dari ajaran-ajaran islam.
Tahun 2006, tepatnya seminggu setelah pengumuman kelulusannya di SMP, Ust.. Ilman (bukan nama asli) salah seorang Ust.azd utusan salah satu pondok di Jogja  yang sedang menjalani masa bhakti pengabdiannya (magang, -pen) selama setahun di daerah tersebut. Ust.. Ilman sering beberapa kali memperhatikan  kelakuan Romi dan gengnya, karena Romi termasuk salah satu murid ta'lim Ust. Ilman, walau hanya beberapa kali pertemuan saja, karena paksaan dari orang tuanya. Sedikitpun  tidak tertarik bagi Romi untuk mengikuti majelis-majelis ta’lim, kerjanya baca al-qur’an, dengar muhodhoroh dan hal-hal yang semisal. Maka sudah lumrah pada umurnya yang ke 15 tahun ini dia belum bisa membaca al-qur’an walau hanya iqro'.
            Prihatin.
            Ya, ada rasa prihatin dari seorang sosok Ust.. Ilman. Ia merasa kasihan melihat tingkah  polah Romi  sehari-hari. Namun apa daya seorang Ust. Ilman, selain hanya bisa berdo’a dan menyerahkan semuanya kepada yang maha kuasa

*****

Tibalah pada suatu hari…..
Hari dimana Romi harus memilih, demi masa depannya yang hakiki. Ust. Ilman memanggil Romi untuk berbicara sesaat namun serius, “ROMI DIMINTA BELAJAR KE PULAU JAWA”. Pondok tempat belajar Ust.. Ilman setahun yang lalu.
Awalnya ada rasa ganjil di lihat Romi, kalau ia menerima tawaran ini  takut dikatakan pengkhianat oleh teman-temannya. Tapi, kalau menolak tawaran ini masa depannya suram, tak ada harapan-harapan.
Hati kecilnya ingin masuk pondok dan mempelajari agama islam. Tapi di sisi lain ia juga ingin menghabiskan massa remajanya bersama teman-temannya se-geng. Pada akhirnya setelah memikirkan kembali tawaran Ust. Ilman ia pun memutuskan untuk menjadi seorang santri di pondok nanti.
Setelah mengajukan beasiswa kepada pesantren yang bersangkutan Romi pun berangkat dengan ditemani Ust. Ilman karena masa pengabdiannya pun sudah berakhir tahun ini.

*****

“Alif”, “Ba”, Ta,” “Sa,”……….
Mungkin demikianlah gambaran di awal pembelajaran Iqro Romi di pesantren ini. Huruf demi huruf ia baca walau dengan berbata-bata. Sembari di bimbing oleh kakak kelasnya yang sudah 2 tahun lebih lama mondok di pesantren ini, ia dengan semangat membacanya….
Hari berganti hari di lewati Romi dengan belajar Iqro’, dengan penuh semangat dan tekad yang kuat. Ia ingin sekali bisa membaca al-Qur’an layaknya teman-temannya yang lain. Pada tahun ini umurnya sudah menapaki angka yang ke 16 tahun.
Hari,            27 Mei 2006……
Terjadi bencana alam yang menimpa kota Jogjakarta dan sekitarnya. Gempa bumi berkekuatan. 6.5 SR. Meluluh lantakkan bangunan-bangunan dan membunuh ribuan jiwa manusia, sekolahpun di liburkan.
Hari ini……
Ia sudah bisa baca al-qur’an namun takdir sudah ditentukan Romi harus pindah pondok, ke salah satu pondok di kota S. Disana ia memperdalam ilmu agama dan mulai menghafal surat-surat pendek pada juz 30, iapun masuk di kelas I’dad Lughawy (persiapan bahasa arab, -pen). Saat ini ia sudah berusia 17 tahun. Mungkin ia terlihat lebih dewasa dari teman-temannya yang masih berusia 15 tahun sampai 16 tahun.

*****
 semenjak masuk ke pondok A di kota S. Romi bertambah semangat dalam mempelajari ilmu agama seringkali ia membayangkan masa-masa glamournya bersama teman-temannya 2 tahun yang lalu. Saat itu ia tidak mengerti apapun tentang agama. Tak pernah terlontarkan satu ayat al-Qur’an pun dari lisannya. Gelap. Menyeramkan. Kini, ia ia merasa lebih berguna dari pada waktu itu, bagaimana dengan teman-temannya ??
Melihat semangat Romi di kesehariannya, iapun dipilih auntuk menjadi muadzin tetap di pondok A, bersama keempat temannya yang lain.

*****

Liburan akan tiba…..
Saat ini memasuki tahun 2009
 Hasrat Romi untuk pulang kampung demi bertemu dengan keluarga dan melepaskan rasa rindunya semakin membuncah. Maklum ia seorang santri beasiswa yang tidak mungkin bisa pulang setiap menjelang liburan layaknya siswa lainnya.
Liburan semester pada tahun ini menjadi liburan pertama kali ia pulang kampung semenjak ia pergi ke Jawa. Banyak mimpi-mimpiyang ingin di realisasikan selama di kampung. Tak pernah terbesit dalam benak Romi 3 tahun  yang lalu ia akan menjadi seorang muazin dan pelantun ayat suci Al-Qur’an sebagaimana  hari ini. Liburan pada tahun ini, menjadi liburan yang sangat mengesankan dalam goresan sejarah  hidupnya saat ia pulang kampung. Romi di suruh untuk menjadi imam, mengajar anak-anak TPA dan akhlaknya pun jauh lebih berbeda dari akhlak teman-teman se-gengnya dahulu. Saat ini umminya merasa bahagia memiliki anak seperti Romi. Romi sekarang sudah hafal 4 juz al-Qur’an.
*****

Satu nasehat yang ia sampaikan kepada seluruh pembaca sobat fata, saat Romi menceritakan hal ini kepada saya. “Memang hidayah itu sangat berharga , sulit orang mendapatkannya, hanya orang-orang pilihan Allah lah yang bisa menikmati hidayah Allah. Saya sering berpikir seandainya saya tidak di beri hidayah oleh Allah untuk masuk pondok, akan jadi apa saya hari ini ?? Teman-teman se-geng saya dulu kini mereka lebih hancur. Bahkan mereka lebih parah dari dahulu. Namun Allah masih menyayangi  saya dengan di masukkkan ke pondok ini”. “Alhamdulillah”, tuturnya di akhir kata. Saat ini ia sedang melaksanakan masa bakti pengabdian (magang) selama 1 tahun.
Semoga Allah memudahkan urusanmu wahai akhi …..di dunia maupun di akherat kelak.
Pesantren Islam Alirsyad
30 October 2012
Abu syuja'
أبو شجاع
Continue reading Romi…. Akankah Semuanya Berubah......???

Bunda..... Kakanda.... Maafkan Annisah



 


Tatkala manusia merasa senang dengan sesuatu. Dia pun akan menyayanginya dan sangat mencintainya. Namun, Allah slalu memberi Ujian kepada hamba-hamba-Nya untuk meguji kadar keimanannya. Banyak kisah yang mencatat akan hal itu.
Kisah wanita sholehah dibawah ini, menjadi salah satu alur yang patut kita telusuri di setiap relung-relungnya dan jadikan sebagai bahan renungan dalam hidup kita.
Wahai Jiwa yang Nestapa. Dengarkanlah penuturan seorang ustadz dibawah ini …
Annisah (bukan nama asli), wanita separuh baya ini memiliki tiga orang adik dan seorang kakak laki-laki. Tatkala umurnya menapaki angka yang ke-18 tahun. Seorang ikhwan datang mempersuntingnya untuk menjadi istri serta ibu dari anak-anaknya kelak.
Annisah sosok wanita yang cantik dan tertutup. Allah mengaruniainya untuk belajar di salah satu Pondok ternama di nusantara ini. Pada saat berusia 15 tahun, Annisah sudah mampu menghafal separuh al-Qur’an, 15 Juz. Itulah salah satu prestasi yang sangat dibangggakan oleh orang tuanya. Selain itu juga selalu memasuki tiga besar dalam prestasi akademiknya. Orang tua Annisah sangat menyayanginya lebih dari saudara-saudaranya yang lain.
Tatkala Akmal, ikhwan yang akan datang mempersunting Annisah, tepatnya pada hari Senin, 20 November 2004, Annisah baru menyelesaikan masa pengabdiannya (magang, -pen) di sebuah Pondok yang tak begitu jauh dari rumahnya.
***

Hari Ahad, 26 Desember 2004 …….
Tepatnya sebulan setelah pernikahan Annisah dengan Akmal. Terjadilah bencana alam yang menggemparkan seluruh negara-negara di dunia. Gempa dan Tsunami Samudra Pasifik menimpa Nangroe Aceh Darussalam.
Banyak bantuan yang datang ke negeri yang berjulukan “Serambi Mekkah” ini, baik dari luar maupun dalam negeri. Mulai dari bantuan moril maupun materi. Banyak pula para da’i yang dikirim kesana.
***
Pagi Rabu, 27 Desember 2004, Annisah mendapatkan sebuah panggilan dakwah dari seorang Ustadz untuk berangkat ke Aceh. Guna menjadi guru pengajar disana.
Awalnya, Annisah sempat galau, resah karena baru menikah sebulan yang lalu dan harus berpisah. Namun, setelah melaksanakan beberapa kali sholat istikhoroh dan mendapat izin dari suami dan orang tuanya. Akhirnya ia pun memutuskan untuk berangkat kesana dengan disertai dua temannya yang lain.
***

Memasuki tahun kedua, ia berada di Aceh…. Tepatnya pada tahun 2006. Dari sinilah gemuruh ujian itu dimulai. Ia terindikasi mengindap sebuah penyakit kronis, penyakit yang bisa membawa kepada kematian. Para dokter bersepakat  belum ada obat untuk mengobatinya. Penyakit leukimia, ya… Leukimia. Seperti yang dijelaskan bahwa penyakit leukimia menyerang sel darah putih. Sel darah putih berguna untuk menjadi anti body, tatkala sel darah putih habis akibat terserang leukimia, maka akan mudah penyakit-penyakit yang lain bersarang di sekujur tubuh.
Annisah, seorang istri yang sholehah bagi suaminya dan sosok yang suka berbakti kepada orang tuanya. Dia tidak tega mengabarkan kondisinya sekarang ini kepada suami atau orang tuanya, takut akan meresahkan mereka yang berada di Pulau Seberang sana. Ia memendamnya. Seorang diri, hanya dia dan ust. kazem yang tau akan hal itu.
Suatu malam, jarum jam menunjukan pukul 14.00. Annisah berusaha menelfon ust kazem, guru pengajiannya selama di jakarta. “ Assalamu’alaikum ustadz, ini Annisah, ustadz ana terindikasi mengidap penyakit leukimia. Tolong jangan di kabari kepada suami atau orang tua Annisah dulu ya”??, suara Annisah terdengar begitu lirih di speaker telfon ust . kazem, samar –samar, sampai ust. Kazem pun bertanya ulang,
“Wa’alaikumussalam Anisah, Anissah bicara apa?? Suaranya terlalu pelan, ustadz nggak mendengarnya dengan jelas”, Ustad kazem berusaha bertanya balik dengan nada yang tenang..
“Ustadz, ini bukan  Annisah lagi yang ngomong, tapi perawat, suster di rumah sakit ini. Annisah teridap penyakit leukimia, ustad. Dia berpesan supaya jangan mengabari suami atau orang tuanya dahulu, ya ??” jelas suster tersebut.
            Keesokan harinya……
            Setelah semalam di hubungi oleh Annisah dan seorang suster yang tak dikenalnya. Ustadz kazem dikagetkan dengan banyaknya sms yang masuk ke handphonenya. Setelah dibuka satu-persatu, ternyata semuanya bersumber dari annisah dengan bunyi yang sama,
“ Ustadz kazem ”
“ Ustadz kazem ”
“ Ustadz kazem ”
Sampai sekitar 15 sms bunyinya hanya “ ustadz kazem “. Ustadz kazem pun hanya duduk termenung sesaat. Ada apa dengan Annisah??, kenapa dia mengirim sms dengan teks yang sama??. Akhirnya ustadz Kazem pun memberanikan diri untuk menelfonnya. Teryata yang mengangkat adalah umminya, “Ustadz… Allah telah mencabut nyawa Annisah tadi malam jam 03.30 dirumah sakit.  Saya membaca semua sms Annisah ke antum yang isinya sama. Sebenarnya ada apa dengan Annisah ustadz?” Ummi Annisah bertanya dengan nada yang dicampuri tangisan, terdengar begitu serak ditelinga Ust. Kazem.
Ust. Kazem pun berusaha menjelaskan kronologi yang sebenarnya kepada Ummi Annisah dengan penuh hati-hati, “Ummi, sebelumnya ana minta ma’af. Sebenarnya Annisah mengidap penyakit leukimia yang baru terdeteksi pada umur dia yang ke – 20 tahun ini. Annisah nggak maw memberi tahu suami atau orang tuanya terlebih dahulu. Dia tidak mau meresahkan orang lain, Ummi. Annisah Cuma cerita ke ana, itupun pada malam terakhir sebelum Allah mengambil nyawanya. Ummi harus bersabar ya, setiap manusia pasti akan diuji oleh Allah, tergantung kadar keimanannya. Memang hidup ini tak semudah yang kita kira Ummi, kadang ada ombak dan badai yang menghadang, Bahkan kenyataan hidup ini tak seindah yang kita kira”, Ust. Kazem berusaha menghibur Ummi Annisah dengan panjang lebar.
Innalillaahi wainna ilaihi rooji'un. Selamat jalan Annisah, semoga jasadnya diterima disi Allah ta'ala.
***
Begitulah alur kisah singkat perjalanan Annisah. Lihatlah betapa tegarnya wanita sholehah ini. Ia rela meninggalkan suami dan orang tuanya demi kepentingan Ummat. Diapun begitu tegar tatkala dokter memvonisnya bahwa belum ditemukan obat untuk penyakit leukimia. Tak pernah sekali pun ia mengeluh kepada suami atau umminya tentang hal itu.
Wahai sobat, ikhwan dan akhwat, Abi dan Ummi patutlah kita mengambil petikan intisari hikmah dari kisah diatas.
*****

Pondok Pesantren Islan Al-Irsyad
08/10/2012
Aboe Syuja'

Continue reading Bunda..... Kakanda.... Maafkan Annisah